Jelang 90 Tahun PSSI, Mengenang Timnas PPD 1985

By Abdi Satria


M. Nigara

Wartawan Sepakbola Senior

SIANG itu sekitar bulan Februari 1985, lantai 2, kantor Galatama, di pintu VI, stadion Gelora Bung Karno, sudah disesaki peserta rapat. Sinyo Aliando (pelatih kepala), Berce Matulapelwa, Salmon Nasution dua asisten pelatih, dan beberapa wartawan sepakbola nasional sudah siap melakukan rapat penting.

"Ini pertama kali kita (para wartawan) dilibatkan, " kata Bang John Halmahera, wartawan Suara Pembaruan.

Catatan: Bang JH, begitu biasa disapa, Mas Sumo (Kompas/BOLA), Bang zuhri (Merdeka), Mas Budimantos (Pelita), Bang Ardi (Pos Kota) adalah wartawan sepakbola elit.

Ya, sejak 1979 saya jadi wartawan sepakbola, ini menjadi sesuatu yang langka. Awalnya saya dan teman-teman yang biasa mangkal di PSSI dan Galatama, menganggap ajakan Pak Acub Zainal, salah satu Ketua PSSI dan Penanggung jawab Galatama, hanya bergurau.

catatan: Ada sekitar 20an wartawan muda yang setiap saat mangkal di kantor PSSI, di Stadion Utama Senayan, samping VIP Timur.

Antara lain: Eddy Lahengko (Suara Pembaruan), Yesayas (Kompas), Isyanto dan Sakti (Pos Kota), Alfon Suhadi dan Soemarsono (Suara Karya), Budiman dan Mardi (Merdeka), Riang Panjaitan, Raden Barus, dan Koma (Sinar Pagi), Bambang Kendro (Berita Buana), Hermanto (Waspada), Adi Wargono dan Bambang Soekaryono (Neraca), Salamun Nurdin dan Budimantos (Pelita), Toro (Suara Merdeka), Barce (Wawasan), Raja dan Akhir (Terbit), dan beberapa lainnya.

"Pokoknya nanti saya libatkan kalian, biar everybody happy, " tukas Pak Acub yang memang terbilang sangat dekat dengan para wartawan. 

Betul saja, begitu Oom Sinyo ditunjuk jadi pelatih, maka janji Pak Acub, oya, beliau biasa kami sapa Jendral, melayangkan undangan. Selain Bang John, saya (BOLA), Yesayas (Kompas), Alfon Suhadi (Suara Karya), Sakti (Pos Kota), Mardi (Merdeka), Bambang Kendro (Berita Buana), Riang Panjaitan (Sinar Pagi), dan beberapa lainnya diundang ke rapat langka itu.

Begitu rapat dibuka, Pak Sanusi, kepala sekretariat Galatama, langsung membagi dua lembar kertas putih yang berisi daftar pemain. Jika tak salah ingat, ada sekitar 77 nama. "Kita membutuhkan 35 orang saja," kata Oom Sinyo.

Pertama dan Terakhir

Itulah kali pertama dan terakhir, kami para kuli tinta, sebutan akrab untuk wartawan masa itu. Ya, setelah era Om Sinyo, Jendral, dan Oom Benny Mulyono (manajer timnas), tak pernah lagi wartawan sepakbola diikutsertakan untuk memilih pemain tim nasional.

Memang tidak ada keharusan, tetapi Jendral waktu itu butuh dukungan dari kami. Maklum, semua timnas, hasilnya mengecewakan. Selain itu, 1985 adalah tahun-tahun yang subur bagi para penyuap dan pemain-pemain terkena setan suap.

"John, dengan cara ini, kita semua bertanggung jawab untuk menjaga tim," lanjut Jendral.

Selain itu, Om Sinyo pun tak ingin menanggung beban sendirian. "MN, you dengan teman-teman ikut memilih. Jadi, kalian gak bisa asal kritik," timpal Om Sinyo kearah saya.

Ya, waktu itu, tidak ada pelatih yang tidak menangis membaca kritik-kritik kami. Pedas, tegas, tajam. Tapi ada teman-teman yang mengkritisi lebih menukik hingga ke persoalan pribadi. 

Sementara tim uji coba, pelatih ..., ditulis namanya, malah asyik main kyu-kyu. Itu salah satu judul Sinar Pagi yang dituliskan Koma, Raden, dan tentu Riang. Banyak lebih tajam. 

Dengan segala hormat dan permohonan maaf, pelatih-pelatih saat ini tidak seberat di masa 1985an. Dengan permintaan yang sama khusus untuk adik-adik, atau anak-anak kita saat ini, kritikannya tidak tajam dan sering kehilangan fokus. Ya, saya bisa memaklumi juga sih, setiap zaman ada situasi yang berbeda. Semua pasti punya alasan masing-masing yang bisa dijadikan sandaran.

Menolak

Kembali ke suasana rapat. Nyaris tidak ada perdebatan yang berarti, kecuali soal dua pemain. Kami, bersikukuh meminta Adjat Sudrajat dan Adolf Kabo tidak dicoret. Keduanya bomber brilian dari Persib Bandung dan Perseman Manokwari."Saya tidak mau," tegas Om Sinyo.

Kami berkeras, Om Sinyo lebih keras lagi. Akhirnya Jendral dapat menengahi. "Gini aja, kalau Bambang Nurdiansyah dan Joko Malis tidak mampu, maka Kabo dan Ajat masuk," ujar Jendral dengan suara tegas tapi penuh senyum.

Di kemudian hari ternyata Oom Sinyo tidak keliru. Tim asuhannya bukan hanya mampu tampil bagus, tapi juga menjadi tim nas tersukses mampu lolos dan menjadi juara Sub-Grup III B.

Tas berisi dolar

Kami selalu dilibatkan setiap jelang dan setelah laga. Tim benar-benar menjadi satu kesatuan. Bahkan saya dan Riang yang kebetulan selalu satu kamar dalam perjalanan ke Bangkok, Dakka, dan Kalkuta, diberi tugas khusus oleh Om Benny.

"Apa nih Om?" tanya saya ketika Oom Benny, manajer tim itu menyerahkan tas hitam dengan ukuran agak besar.

"Buka saja," jawabnya sambil senyum-senyum.

"Astagfirullah, dolar. Banyak banget. Uang apa nih Om?" tanya saya disaksikan Riang.

"Uang timnas. 125 ribu dolar," katanya lagi.

"Lho, kok? Untuk apa?" tanya kami.

Oom Benny hanya senyum. "Nanti you yang bagiin," katanya lagi.

"Bagiin ke siapa Om?" kejar Riang.

"Nanti Gandos (wakil manajer dan orang sekatnya Om Benny) yang kasih tahu, ke siapa, berapa jumlahnya," tukasnya dengan wajah penuh senyum dan sambil berjalan meninggalkan saya dan Riang terperangah.

Saya dan Riang, saling pandang. "Busyeeet bisa beli rumah di Pondok Indah nih," kata Riang sambil bergurau.

Dan alhamdulillah, hingga tim kembali ke Jakarta, tak ada komplain apa pun dari Om Benny maupun Om Gandos. Jujur, hati saya, pasti juga Riang, sangat plong, bahagia. Artinya amanah besar tak tercoreng.

Kembali ke timnas kita. Dari lima laga yang kita mainkan, Herry Kiswanto Cs menang di home dan away atas Thailand 1-0 dan 1-0, India 2-1 dan 1-1, Bangladesh 2-0 dan 1-2. Sayang di babak kedua, kita dua kali kalah dari Korea Selatan, kalah 0-2 di Seoul (21/7/1985) dan 1-4 di Jakarta (30/7/1985). Dan itu ternyata menjadi awal bagi Korsel ikut di Piala Dunia hingga World Cup 2018 di Rusia, tak pernah putus.

Padahal sebelum laga, Korsel dengan pelatih kepalanya Kim Jung Nam sempat merasa khawatir dengan tim nas kita. Nama Zulkarnaen, Bambang Nurdiansyah, dan Joko Malis, merupakan pemain-pemain yang sangat dikhawatirkan bisa merobek-robek pertahanan timnya.

Menurut salah seorang atase penerangan Korsel di Jakarta, saya lupa namanya, istrinya orang Yogja, Jung Nam khawatir sekali. Ia mengaku diminta untuk mencari segala data tentang ketiganya.

Itulah catatan indah yang tak bisa saya dan teman-teman lupakan. Sesuatu yang tak mungkin terulang oleh generasi wartawan yang manapun. Bayangkan, kalau saja kita mampu mengatasi Korsel, maka bukan tidak mungkin kita akan ke piala dunia berulang-ulang.

Ya, sesungguhnya kualitas pemain-pemain kita waktu itu, tidak terlalu berbeda dengan Korsel. Hanya saja, kedisiplinan, kebugaran, kemauan, dan keseriusan kita harus diakui, maaf terlalu minim. 

Saya sengaja tidak ingin mengatakan bahwa ada faktornon teknis di tim itu. Hanya saja, saat itu, sepakbola kita memang sedang dihantui suap. Banyak pemain yang, maaf, terindikasi suap. Tetapi, meski PSSI kala itu sudah saya beri kisi-kisi tentang siapa saja dan bagaimana caranya, tetap gagal membongkarnya. Ya, suap itu seperti awan, jelas terlihat tak bisa disentuh. Suap itu seperti kentut, terasa di hidung, tak ketahuan pantat siapa penyebab baunya. Sayang sungguh.

Tulisan ini saya persembahkan khusus untuk para almarhum:

Pak Kardono (Ketum PSSI 1983-1991), Acub Zainal ( pemilik dan pendiri Perkesa 78 dan Arema Malang), Benny Mulyono (pemilik dan pendiri klub Warna Agung), Sinyo Aliandoe, Berce Matulapelwa, Salmon Nasution (trio pelatih tim nas PPD), Bambang Sunarto (sayap tim nas), dan Bang John Halmahera..

Semoga seluruh pengabdian kalian di dunia sepakbola memperoleh ridha dari Allah. Dan semoga Allah limpahkan rahmatNya yang maha luas serta Allah ampuni seluruh khilaf kalian, aamiin....

Selamat ulang tahun ke-90 PSSI.. 19 April 2020......

Semoga terus ada kebaikan dan kemajuan... aamiin ya Rabb